Tsauban RA Sahabat Nabi Yang Menyesal Saat Sakaratul Maut

Tsauban ra memiliki kebiasaan unik. Beliau datang ke masjid sebelum waktu shalat berjamaah. Beliau selalu mengambil posisi di pojok masjid pada setiapa shalat berjamaah dan I’tikaf. Alasannya, selalu mengambil posisi di pojok masjid karena beliau tidak ingin mengganggu atau menghalangi orang lain yang akan melakukan ibadah di masjid. Kebiasaan ini, sudah dipahami oleh semua orang bahkan Rasulullah sendiri.
Pada suatu pagi, saat shalat Subuh berjamaah akan dimulai, Rasulullah SAW merasa heran karena tidak mendapati Tsauban ra pada posisi seperti biasanya. Rasul pun bertanya kepada jamaah yang hadir, apakah ada yang melihat Tsauban? Tapi, tidak ada seorang pun yang melihat Tsauban ra.
Shalat Subuh pun sengaja ditunda sejenak, untuk menunggu kehadiran Tsauban. Namun yang ditunggu belum datang juga. Karena khawatir shalat Subuh kesiangan, Rasulullah pun memutuskan untuk segera melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Hingga shalat Subuh selesai pun Tsauban belum datang juga.
Selesai shalat Subuh Rasul pun bertanya lagi “Apakah ada yang mengetahui kabar Tsauban?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawab.
Rasul pun bertanya lagi “Apa ada yang mengetahui dimana rumah Tsauban?” Seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa beliau tahu persis dimana rumah Tsauban.
Rasulullah sangat khawatir terjadi sesuatu terhadap sahabatnya tersebut, meminta diantarkan ke rumah Tsauban. Perjalanan dari masjid ke rumah Tsauban cukup jauh dan memakan waktu lama terlebih mereka menempuh dengan berjalan kaki.
Akhirnya, Rasulullah dan para sahabat sampai di rumah Tsauban pada waktu shalat dhuha (kira-kira 3 jam perjalanan). Sampai di depan rumah Tsauban, beliau mengucapkan salam dan keluarlah wanita sambil membalas salam.
“Benarkah ini rumah Tsauban?” Tanya Rasulullah.
“Ya benar, ini rumah Tsauban. Saya istrinya.” jawab wanita tersebut.
“Bolehkah kami menemui Tsauban ra, yang tidak hadir shalat Subuh di masjid pagi ini?” ucap Rasul.
Dengan berlinangan air mata, istri Tsauban ra menjawab “Beliau telah meninggal tadi pagi”.
“Innalilahi Wainnailaihiroji’un” jawab semuanya.
Satu-satunya penyebabTsauban tidak hadir shalat Subuh di masjid adalah karena ajal menjemputnya. Beberapa saat kemudian, istri Tsauban ra bertanya “Ya Rasulullah ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya dia berteriak tiga kali dengan masing-masing teriakan di sertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya”
“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasulullah.
“Dimasing-masing teriakannya, beliau berucap kalimat ‘Aduh, kenapa tidak lebih jauh, aduh kenapa tidak yang baru, aduh kenapa tidak semua,” jawab istri Tsauban.
Rasulullah SAW pun melantunkan ayat yang terdapat surah Qaaf ayat 22: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”
“Saat Tsauban ra dalam keadaan sakaratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah SWT. Bukan hanya itu, semua ganjaran dari perbuatan beliau diperlihatkan oleh Allah. Apa yang dilihat oleh Tsauban ra (dan orang yang sakaratul maut) tidak bisa disaksikan yang lain. Dalam pandangannya yang tajam itu Tsauban ra melihat suatu adegan dimana kesehariannya beliau pergi pulang ke masjid untuk shalat berjamah lima waktu. Perjalanan sekitar tiga jam jalan kaki, tentu itu bukan jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Tsauban ra diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah-langkahnya ke masjid,” ujar Rasulullah.
Beliau melihat seperti apa bentuk surga yang dijanjikan sebagai ganjaran beliau. Saat beliau melihat beliau berucap “Aduh mengapa tidak lebih jauh” timbul penyesalan dalam diri Tsauban ra, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih indah. Dalam penggalan kalimat berikutnya Tsauban ra melihat saat ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin.
Saat beliau membuka pintu, berhembuslah angin dingin yang menusuk tulang. Beliau masuk ke dalam rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Dia memakai dua baju, Tsauban ra memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar.
Beliau berpikir jika kena debu tentu yang kena hanyalah baju yang luar dan sampai di masjid beliau bisa membuka baju luar dan shalat dengan baju yang lebih bagus. Ketika dalam perjalanan menuju masjid beliau menemukan seseorang yang terbaring yang kedinginan dalam kondisi mengenaskan. Tsauban pun iba dan segera membukakan baju yang paling luar lalu dipakaikan kepada orang tersebut kemudian beliau memapahnya ke masjid agar dapat melakukan shalat Subuh bersama-sama.
Orang itupun selamat dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan shalat berjamaah. Tsauban ra pun kemudian melihat indahnya surga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut. Kemudian beliau berteriak lagi “Aduh!! Kenapa tidak yang baru” timbul lagi penyesalan dibenak Tsauban ra. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala besar, sudah tentu beliau akan mendapatkan yang lebih besar jika dia memberikan pakaian yang baru.
Berikutnya, Tsauban ra melihat lagi suatu adegan. Saat beliau hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke dalam segelas susu. ketika baru saja ingin memulai sarapan, munculah pengemis di depan pintu yang meminta sedikit roti karena sudah tiga hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal itu, Tsauban ra merasa iba. Beliau kemudian membagi dua roti tersebut dengan ukuran sama besar dan membagi dua susu ke dalam gelas dengan ukuran yang sama rata, kemudan mereka makan bersama-sama. Allah SWT kemudian memperlihatkan Tsauban ra dengan surga yang indah.
Ketika melihat itupun Tsauban ra teriak lagi “ Aduh kenapa tidak semua!!” Tsauban ra kembali menyesal. Seandainya beliau memberikan semua roti itu kepada pengemis tersebut, pasti beliau akan mendapat surga yang lebih indah. Masya Allah, Tsauban bukan menyesali perbuatanya melainkan menyesali mengapa tidak optimal.